Sunday, February 21, 2016

WILLIAM SANG PENAKLUK



WILLIAM SANG PENAKLUK



di tahun 1066, Pangeran William dari Normandia hanya dengan beberapa ribu prajurit di belakangnya menyeberangi selat yang memisah daratan Benua Eropa dengan Inggris, menggendong tekad jadi penguasa Inggris. Tekad berani yang gila-gilaan ini ternyata berhasil, upaya penghabisan penyerbuan kekuatan asing yang dapat berjalan sebagaimana mestinya, Penaklukan orang Norman ini lebih dari sekedar merebut mahkota Kerajaan Inggris buat William dan keturunannya. Ini membawa pengaruh yang mendalam pada seluruh sejarah Inggris selanjutnya dalam pelbagai segi dan jenisnya yang tak terbayangkan oleh William sendiri.

William dilahirkan sekitar tahun 1027 di Falaise sebuah kota di Normandia, Perancis. Statusnya anak sundal, tetapi satu-satunya putera Robert I, Pangeran Normandia. Robert meninggal dunia tahun 1035 tatkala dalam perjalanan pulang berziarah ke Darussalam. Sebelum keberangkatannya dia sudah menunjuk William sebagai ahli warisnya. Jadi, pada umur delapan tahun, William sudah menjadi Pangeran Normandia. Jauh dari jaminan buatnya peroleh kedudukan yang enak dan mewah, justru pengangkatan membuat kedudukan ruwet buat William. Soalnya dia tak lebih dari anak kecil yang mesti mengepalai baron-baron yang jelas sudah pada tua bangka. Taklah mengherankan jika ambisi sang baron-baron itu lebih menonjol ketimbang kesetiaannya. Dan akibat-akibat selanjutnya sudahlah bisa ditaksir: terjadilah situasi anarki, tiga pengawal William dibunuh dengan kejam bahkan guru pribadinya pun digorok batang lehernya. Dengan bantuan Raja Perancis Henry I (yang sebetulnya tak lebih berstatus lambang belaka) William beruntung bisa terus dapat melihat sinar matahari di tahun-tahun awal hidupnya. Nasibnya belum seburuk pengawal pribadi atau gurunya.
Tahun 1042, ketika William menginjak usia pertengahan belasan tahunnya, dia diangkat jadi perwira militer kehormatan. Sesudah itu dia punya peranan pribadi dalam peristiwa-peristiwa politik. Pecahlah kemudian serentetan pertempuran melawan baron-baron feodal Normandia yang pada akhirnya dapat dimenangkan William yang memantapkan kedudukannya. (Tak terelakkan lagi, status anak tak resmi yang ada pada diri William merupakan halangan politis sehingga kerap kali lawan-lawannya menyebutnya "sundelan"). Tahun 1603 dia berhasil menaklukkan Maine, provinsi tetangganya dan di tahun 1064 dia juga berhasil diakui selaku penguasa Brittania, juga propinsi tetangga yang lainnya.
Dari tahun 1042 hingga 1066, Raja Inggris adalah Edward "Sang Penerima Pengakuan." Karena Edward tak berputera satu pun, banyak rencana gerakan untuk pengganti kedudukan kerajaan Inggris. Dari sudut hubungan darah, tuntutan William menggantikan Edward adalah lemah; ibu Edward adalah adik perempuan kakek William. Tetapi, di tahun 1051, barangkali dipengaruhi oleh cara William menunjukkan bahwa dia punya kesanggupan, Edward menjanjikan William untuk menjadi penggantinya.
Tahun 1064, Pangeran Harold Goldwin yang paling kuat di Inggris dan sahabat karib serta ipar Edward masuk dalam genggaman William. William memperlakukan Harold sebagaimana mestinya tetapi menahannya sampai dia angkat sumpah sokong tuntutan William memperoleh mahkota Kerajaan Inggris. Banyak orang beranggapan sumpah model todongan macam ini tak punya legalitas dan ikatan moral, dan memang Harold sendiri tidak menganggap begitu. Tatkala Edward meninggal tahun 1066, Harold Goldwin menuntut mahkota Kerajaan Inggris buat dirinya sendiri dan sebuah badan yang namanya "Witan" (badan yang beranggotakan para bangsawan yang lazim ambil bagian dalam pengambilan keputusan siapa-siapa yang jadi pemegang mahkota kerajaan) memilihnya jadi raja baru. William, yang ambisinya berkobar-kobar dan murka kepada Harold karena melanggar sumpah, ambil keputusan menyerbu Inggris untuk merebut tahta dengan kekerasan senjata.
William menghimpun armada dan angkatan bersenjata di pantai Perancis, dan di awal Agustus 1066 dia sudah siap mengangkat sauh. Tetapi, ekspedisi itu ditunda beberapa minggu menunggu meredanya angin buruk dari utara. Sementara itu, Raja Norwegia Harald Hardraade melancarkan serangan terpisah terhadap Inggris melintasi laut utara. Harold Goldwin menyiagakan pasukannya di sebelah selatan Inggris, siap menghadapi serangan William. Dengan demikian dia harus mengerahkan pasukannya ke sebelah utara Inggris untuk menghadang serangan orang-orang Norwegia. Tanggal 25 September, dalam pertempuran di Stamford Bridge raja Norwegia tewas dan tentaranya berantakan.
Hanya dua hari kemudian angin berubah di Selat Kanal dan William bergegas mengerahkan pasukannya ke Inggris. Mungkin, sebaiknya Harold membiarkan William bergerak menuju arahnya atau sedikitnya mengistirahatkan prajuritnya secukupnya sebelum terjun ke medan pertempuran. Tetapi, yang dilakukannya malah kebalikannya. Dia buru-buru menggerakkan pasukannya kembali ke selatan menghadapi William. Kedua angkatan bersenjata bertemu tanggal 4 Desember 1066 dalam sebuah pertempuran terkenal di Hastings. Di ujung hari itu juga pasukan berkuda dan pemanah William sudah mampu memporak-porandakan kekuatan Anglo-Saxon. Menjelang turunnya malam, Raja Harold sendiri terbunuh. Dua saudaranya sudah terbunuh lebih dulu dalam pertempuran itu dan tak ada pemimpin Inggris tersisa yang punya bobot dan wibawa membentuk pasukan baru atau melawan tuntutan William atas mahkota kerajaan. William dinobatkan di London pada hari Natal.
Lepas lima tahun, pecah beberapa pemberontakan yang terpencar-pencar, tetapi William sanggup menggebrak mereka semua. William menggunakan dalih pemberontakan ini sebagai alasan menyita semua tanah di Inggris dan memaklumkan bahwa semua tanah itu miliknya pribadi. Banyak dari tanah-tanah itu kemudian dibagi-bagikan kepada pengikut-pengikut orang Norwegianya yang menguasai tanah itu dalam kondisi feodal selaku vassalnya. Akibatnya, seluruh aristokrasi Anglo-Saxon ditanggalkan, diganti oleh orang-orang Norwegia. (Betapa pun kedengarannya dramatis, cuma beberapa ribu orang saja yang secara langsung terlibat dengan perpindahan kekuasaan ini. Buat para petani penggarap masalahnya tak lebih dari pertukaran juragan belaka).
William senantiasa merasa dan berlagak dialah Raja Inggris yang absah dan selama masa hidupnya sebagian besar lembaga-lembaga Inggris dipertahankan sebagaimana adanya tanpa perubahan. Karena William berkepentingan peroleh informasi menyangkut apa yang jadi miliknya, dia memerintahkan dilaksanakannya sensus terperinci menyangkut penduduk dan harta benda. Hasil sensus itu direkam dalam sebuah buku besar disebut "Domesday Book", yang merupakan sumber informasi historis amat berharga. (Naskah aslinya masih terdapat hingga kini, disimpan di Kantor Pencatatan Umum di London).
William kawin dan punya empat putera dan lima puteri. Dia meninggal tahun 1087 di kota Rouen, Perancis Utara. Sejak saat itu tiap raja di Inggris merupakan keturunannya langsung. Anehnya, kendati William Sang Penakluk ini mungkin merupakan raja terpenting di Inggris, dia sendiri bukanlah orang Inggris, melainkan Perancis. Dia dilahirkan di Perancis dan tutup hayat di Perancis, menghabiskan sebagian besar masa hidupnya di sana dan cuma bisa berbahasa Perancis. (Dia kebetulan seorang buta huruf).
Dalam hal mengukur arti penting pengaruh William atas sejarah satu hal yang paling mesti diingat adalah tak akan terjadi penaklukan orang Norman atas Inggris tanpa adanya William. William bukanlah pengganti mahkota Kerajaan Inggris semestinya. Kalau saja dia terjauh dari ambisi pribadi dan kemampuan, tak akan ada alasan sejarah perlunya orang Norman melakukan penyerbuan. Inggris tak pernah dapat serbuan dari Perancis sejak penaklukan Romawi 1000 tahun sebelumnya. Tak pernah terjadi penaklukan yang berhasil dari Perancis (atau dari mana pun) selama sembilan abad kecuali oleh William itu.
Pertanyaan yang timbul adalah seberapa jauhkah akibat yang dilontarkan oleh penaklukan Norman itu? Para penakluk Norman sebenarnya berjumlah relatif kecil namun dia punya pengaruh besar buat sejarah Inggris. Dalam lima atau enam abad sebelum penaklukan itu, Inggris sudah berulang kali diserbu oleh bangsa Anglo-Saxon dan Skandinavia dan dasar budayanya adalah Teutonik. Orang-orang Norman sendiri merupakan keturunan Viking tetapi bahasa mereka dan kulturnya Perancis. Karena itu, penaklukan oleh orang Norman mengakibatkan mendekatnya kebudayaan Inggris dengan Perancis. (Kini tampaknya hal macam itu barang lumrah tetapi di abad-abad sebelum jaman William Sang Penakluk, umunmya hubungan kultural Inggris bukannya dengan Perancis, melainkan dengan Eropa belahan utara). Apa yang dialami Inggris adalah pembauran dengan budaya Perancis dan Anglo-Saxon yang tak akan pernah terjadi tanpa adanya penyerbuan itu.
William memperkenalkan Inggris suatu bentuk feodalisme yang lebih maju. Raja-raja Norman, tak seperti Anglo-Saxon pendahulunya, membawahi ribuan pendekar-pendekar bersenjata, satu angkatan bersenjata yang tangguh menurut ukuran abad tengah. Orang-orang Norman punya ketetampilan pemerintahan dan administrasi sehingga pemerintahan Inggris menjadi salah satu dari pemerintahan yang kuat dan efektif di Eropa.
Akibat menarik berikutnya berkat penaklukan orang Norman adalah berkembangnya bahasa Inggris baru. Berkat itu terjadilah penambahan kata-kata baru ke dalam bahasa Inggris, begitu banyaknya penambahan yang terjadi sehingga kamus Inggris modern berjejalan kata-kata berasal dari Perancis dan Latin, melebihi kata-kata yang berasal-usul dari Anglo-Saxon. Lebih jauh lagi dari itu, selama tiga atau empat abad segera sesudah penaklukan Norman gramatika Inggris berubah dengan teramat cepatnya, sebagian besarnya cenderung ke arah penyederhanaan. Kalaulah saja tak terjadi penaklukan itu, jangan-jangan bahasa Inggris sekarang hanya sedikit berbeda dengan bahasa Jerman dan Belanda rendahan. Ini satu-satunya contoh betapa bahasa besar tidak akan terjelma sebagaimana bentuknya yang kita kenal sekarang ini tanpa lewat peranan usaha seseorang pribadi. (Perlu dicatat, bahasa Inggris sekarang jelas sekali merupakan bahasa yang terkemuka di dunia).

more articles
Islam Meretas semangat Kebangkitan bangsa
persebaran Islam dari Pulau ke Pulau 
Risalah Islam Indonesia
 

No comments:

Post a Comment