Dipemukiman saufi mengontrak rumah ternyata belum ada guru
mengaji. Banyak orng tua mengeluh lantaran anak mereka banyak yang belum bisa
mengaji.padahal, beberapa tahun terakhir pemerintah daerah mewajibkan agar
khatam alquran pada setiap peserta didik. Keadaan begini tenyu saja tidak boleh
dibiarkan terus berlarut.
Menangkap
keprihatinan dan keluhan warga, pak RT kemudian berinisiatif mendatangi saufi.
Ia tahu bahwa dulu nya anak itu adalah alumni disebuah pesantren di kota
banjarbaru. Sekarang melaksanakan kuliah di tarbiah IAIN Antasari. Pasti dia
tidak keberatan untuk meluangkan waktu untuk mengajari anak-anak komplek untuk
mengaji.
Semula saufi
saufi menolak karna dia tak yakin mampu mengemban tugas tersebut, tapi pak RT
terus membujuknya.
“kalau bukan
kamu, siapa lagi yang dapat diharapkan? Ingat, ini kesempatan kamu untuk
mengamalkan ilmu yang pernah kamu pelajari di pesantren. Nak naufi pasti paham
, ilmu yang tak di amalakan diibaratkan pohon yang tak berbuah.”
Saufi masih diam, mungkin tengah berfikir dan mempertimbangkan
tawaran tersebut.
“lagi pula
saya kira jadwal kuliahmu tidak terlalu padat. Dari pada waktu kamu terbuang,
lebihbaik digunakan untuk kemaslahatan. Selain itu, nanti kamu akan dapat gaji.
Lumayan buat tambahan uang belanja. Namun selain itu, niatkan untuk membantu
masyarakat sekitar sini. Dan dengan sendirinya kamu akan mendapa ganjaran dari
Tuhan,” ucap pak RT.
Saufi
menggut-manggut, tapi, ia belum member jawaban.
‘bagaimana, nak suaufi? Bersediakan ?!!” desak pensiunan pegawai
BKKBN itu.
“baiklah,”
akhirnya saufi menambil keputusan yang membuat pak RT tersenyum lebar.
Untuk
sementara lokasi pengajian meminjam beranda mesjid setempat. Jika dengan
pengambangan berikut memungkinkan, baru nanti dibangun gedung TK/TPA. Tapi itu
perlu proses. Biarlah tahap awal ini meminja hakaman mesjit terlebih dahulu.
Karna memang
sudah lama dinanti-nanti, para orang tua antusias mendaftarkan aanaknya ikut
mengaji. Suasana menjid pun berubah menjadi lebih hidup. Setiap sore, tepatnya ba’da ashar, riuh oleh suasana suara
anak-anak yang sedang mengaji, apalagi saufi cukup pintar melakukan pendekatan,
sehingga anak-anak cukup bersemangat mengeja dan menghapal huruf hizaiyah.
Warga juga
turut senang. Kini mereka tak perk=lu khawatir lagi anak mereka tak bisa
mengaji. Semua berkat andil saufi. Merekapun salut dan menaruh hormat pada anak
muda itu- entah siapa yang memulai kemudian berangsur memanggilnya ustadz
saufi.
Tak terasa
enam bulan berlalu. Sebagian besar para santri sudah lancer mengaji. Walau
masih perlu ditingkatkan lagi sampai betul-betul menguasai tajwied. Ustadz
saufi cukup puas, pengabdiannya membuahkan hasil yang cukup memuaskan dan
menggembirakan.
Tapi ternyata
keadaan itu tak berlangsung selamanya. Beberapa bulan kemudian para santri
mulai malas turun mengaji. Terutama hari senin, rabu, dan sabtu yang dating
dapat dihitung dengan jari tangan. Ustadz saufi berdiri sempat heran. Setelah
diselidiki, rupanya hari itu anak2 lebih memilih les bahasa inggris ketimbang
ngaji. Saufi hanya bisa mengelus dada sambil membaca istigfar, anak-anak tak
bisa disalahkan karna mereka mengikuti arahan dari orang tuanya.
Tak ingin
jumblah santrinya kian hari makin merosot, dalam satu kesempatan dihadapan para
orang tua ustadz saufi pu mencoba mengingatkan.
“belajar
bahasa asing itu memang penting, makanya ulun jua memilih kuliah bahsa inggris,
apalagi jaman global sekarang, kemampuan bahasa inggris sangat diperlukan.
Tapi, jauh lebih penting lagi belajar alquran karena ini untuk bekal kehidupan
akhirot. Setiap muslim seyogyanya, bahkan pandai mengaji supaya mengerti
petunjuk dari allah. Sedangkan bahasa inggris cuman sebatas pengetahuan dunia,”
ujarnya.
Para orang
tua dian mendengarkan. Dian tara mereka mulai menebak arah pembicaraan ustadz
saufi tampak menundukkan wajah.
“terus terang belakangan ini ulun merasa sangat sedih karena para
santri tidak begairah mengaji seperti pertama kali dulu mengaji. Mereka lebih
senang les bahasa inggris dari pada mengaji, bahkan sekarang, maaf, banyak yang
nunggak bayar SPP yanf Cuma 20.000 rupiah perbulan, sedangkan biaya les yang
150.000 rupiah perbulan tidak pernah telat.”
Mereka yang
merasa tersindir, tertundu semakin dalam.
Ulun berharap
setelah pertemuan ini anak-anak rajin kembali mengukuti pengajian. Semua ini
untuk kebaikan kita bersama,” ucap saufi mengakhiri curhatnya.
Besoknya,
ruang ngaji kembali sepi. Ternyata imbauan kemaren sama sekali tidak di gubris
dan di tanggapi.
Saufi tampak murung. Dan sungguh tak habis fikir, mengapa sulit
sekali mengajak kebaikan. Padahal, demi kepentingan mereka juga.
“ternyata
jaman sekarang menjadi guru mengaji bkanlah pulihan yang mudah. Lebuh serung
makan hati,” gumamnya.
Melihat wajah
saufi diselimuti kabut, asnan, temannya satu kontrakan, mencoba menawarkan
alternative.
“buat apa
kamu terlalu peduli, sedangkan mereka sendiri menganggap kurang penting.
Mending kamu seperti aku mengajar ditempat kursus. Gajinya empat kali lipat,
bahkan mungkin dapat lebih seperti seorang guru mengaji.”
“ini bukan
masalah financial. Tapi, lebih kepada …”
“ah, tidak
usah terlalu idealis lah kawan, kalau orang tua meraka saja tidak menaruh
perhatian serius untuk menyuruh anaknya mengaji, lalu apa yang akan kamu
lakukan?, memaksa ? ya, tidak bisa!”
Saufi mencoba
tetap bertahan. Siapa tau aka nada perubahan. Barangkali perlu kesabaran
ekstra. Sekali lagi mereka melakukan pendekatan kepada santri dan orang tua.
Tapi hasilnya sama saja nihil..
Akhirnya
tidak ada pilihan lain, saufi menghadap pak RT. Ingin mundur sebagi guru
mengaji. Ia minta minta maaf karna tak bisa memenuhi harapan beliau, keputusan
sudah bulat tidak bisa dicegah lagi.
Mungkin
karena malu atau tidak enak dengan warga, kemudian saufi pindah kontrakan.
Kini mesjid
yang dulu tempatnya mengajar ngaji terasa sepi. Setiap sore tak ada lagi suara santri-santri
membaca dan menghapal huruf hizaiyah.
Semantara
dilokasi kontrakan yang baru saufi beralih frofesi sebagai pengajar bahasa
inggris. Sekarang anak-anak bukan memanggilnya ‘ustadz’ melainkan Master saufi.()
created by :
Aliansyah
jumbawa
No comments:
Post a Comment