Islam Meretas Kebangkitan
Deliar Noer berkata, “Nasionalisme Indonesia dimulai sebenarnya
dengan nasionalisme Islam”. Katanya lagi, “Sesuatu gerakan yang penting
di Indonesia mulanya adalah gerakan orang-orang Islam. Mereka yang bergerak di
bawah panji-panji yang bukan Islam kebanyakannya terdiri dari mereka yang telah
meninggalkan tempat buaian mereka semula, tempat mereka mula-mula sekali mengecap
asam garam pergerakan.”
Hal ini dapat kita buktikan.
Beberapa tokoh pergerakan nasional terkemuka dari berbagai aliran berasal dari
gerakan Islam. Untuk aliran nasionalisme radikal Ki Hajar Dewantara (Suwardi
Suryaningrat) tadinya berasal dari Sarekat Islam (SI). Soekarno sendiri
pernah menjadi guru Muhammadiyah dan pernah nyantri di bawah bimbingan Tjokroaminoto.
Bahkan beberapa tokoh-tokoh PKI zaman pergerakan nasional berasal dan
terinspirasi oleh perjuangan SI. Tan Malaka sendiri, yang menurut Kahin,
adalah seorang Komunis Nasionalis dan pendiri partai Murba, berasal dari SI
Jakarta dan Semarang. Ia dibesarkan dalam suasana semangatnya gerakan modernis
Islam Kaoem Moeda di Sumatera Barat (Poeze: 1988).
Umat Islam menduduki peran utama dalam gerakan politik dan
militer. Semua perang yang terjadi bersukma dari seruan jihad, perang suci.
Sewaktu Pangeran Diponegoro–pemimpin Perang Jawa–memanggil sukarelawan, maka
kebanyakan mereka yang tergugah adalah para ulama dan ustadz dari pelosok desa.
Pemberontakan petani menentang penindasan yang berlangsung terus-menerus
sepanjang abad ke-19 selalu di bawah bendera Islam. Tindakan ini menyebabkan ia
lebih dicintai dan dihormati rakyatnya.
Demikian pula yang dilakukan oleh Tengku Cik Di Tiro, Teuku Umar,
dan diteruskan oleh Cut Nyak Dhien dari tahun 1873-1906 adalah jihad
melawan kape-kape (Kafir-kafir) Belanda yang menyengsarakan umat Islam dan
rakyat Aceh.
Begitu juga dengan perang Padri. Bisa dilihat, nama perang Padri
menunjukkan perang ini adalah perang keagamaan. Kata padri berasal dari kata ‘Padre’ (pendeta atau
pastur). Nama perang ini diberikan Belanda, meskipun Belanda memberi
penafsiran yang salah bahwa pejuang-pejuang itu adalah ‘pendeta-pendeta’.
Perang tersebut berlangsung selama 16 tahun. Selama itu bentrokan terjadi di
kalangan ulama Indonesia: ‘kaum tua’ dengan ‘kaum muda’ dan golongan adat
dengan ‘kaum muda’.
Bentrokan ini dimanfaatkan Belanda untuk mengadu domba, namun tidak berhasil.
Akhirnya kedua kubu yang saling berselisih itu bersatu dan bersama-sama melawan
Belanda.
Para ulama juga memimpin pemberontakan terakhir yang terjadi pada tahun 1927 di
pantai barat Sumatera. Belanda, seperti pemerintahan Orde Baru, mencap semua
pemberontakan melawan pemerintahan adalah komunis atau PKI. Sehingga hari ini
kita temui dalam buku sejarah bahwa pemberontakan tahun 1927 di Sumbar itu
adalah PKI. Padahal itu dilakukan oleh Sumatera Thawalib. Memang ada sebagian
anggota Sumatera Thawalib yang kemudian menjadi anggota PKI tapi itu hanya
sebagian kecil saja (Lihat Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia).
Pada saat itu gerak maju perjuangan kemerdekaan Indonesia pindah ke lingkungan
politik dan sipil, namun tetap mempunyai warna Islam yang kuat.
Pada 1912, pergerakan politik Indonesia yang pertama, yakni Sarekat
Islam (SI), didirikan. Dengan segera, SI menjadi gerakan massa dengan
anggotanya mencapai 2 juta orang pada tahun 1919. Sebenarnya Sarekat Islam
sudah berdiri sejak tahun 1905 dengan nama Sarekat Dagang Islam.
H. Agus Salim, Tamar Djaja, Ridwan Saidi, Anwar Harjono,
Ahmad Mansyur Suryanegara, dan Adabi Darban pernah berkata bahwa
tanggal berdirinya Sarekat Dagang Islam ini lebih tepat disebut sebagai “Hari
Kebangkitan Nasional”, dan bukan tahun 1908 dengan patokan berdirinya Boedi
Oetomo. Karena ruang lingkup Boedi Oetomo hanyalah Pulau Jawa, bahkan hanya
etnis Jawa Priyayi pada tahun 1908 itu. Sedangkan Sarekat Dagang Islam
mempunyai cabang-cabang di seluruh Indonesia. Jadi inilah yang layak disebut
“Nasional”.
Tetapi golongan nasionalis sekuler, sejarawan-sejarawan yang tidak nasionalis,
sejarawan-sejarawan “netral” yang menulis sejarah berdasarkan ‘pesanan’
mengaburkan hal ini. Golongan nasionalis menyimpangkan karena takut. Asas SDI
(Sarekat Dagang Islam) adalah Islam, sedangkan golongan nasionalis sekuler
paling takut pada Islam sebagai suatu ‘gerakan’. Mereka disebut Islamofobia,
meski mereka mengaku beragama Islam. Lalu mengapa Boedi Oetomo yang dijadikan
patokan? Karena Boedi Oetomo berdasarkan “Nasionalisme Sekuler” atau lebih
tepat lagi “Nasionalisme Jawa Sekuler”!
Seorang orientalis, G.H. Jansen, pernah menyebutkan beberapa alasan yang
menyebabkan kemunduran Sarekat Islam. “Programnya merupakan kombinasi yang
kurang serasi antara Islam yang agak konservatif dengan anti-kolonialisme yang
keras. Kombinasi ini akhirnya menghancurkan kesatuan di dalam diri organisasi
itu sendiri dan popularitas organisasi” (G.H. Jansen, Islam Militan).
Tapi sesungguhnya Jansen telah salah besar. Dikotomi yang ia nyatakan, Islam
dan antikolonialisme adalah keliru. Sebab salah satu karakteristik Islam adalah
antikolonialisme. Apalagi dengan mengatakan Islam itu “agak konservatif”. Ini
salah sekali. Karena Islam itu progresif dan “up to date”, selalu relevan
sepanjang zaman.
Kesalahan lain Jansen karena ia mengatakan penyebab kehancuran SI adalah
kombinasi yang kurang serasi antara Islam dengan antikolonialisme. Padahal
penyebabnya (penyebab utama) adalah infiltrasi dan penetrasi dari orang-orang
komunis kepada Sarekat Islam. Mereka mengira Islam dan komunis sama karena
sama-sama membela kaum tertindas (mustadh’afin).
Penyebab tertipunya orang-orang Islam anggota SI ini adalah karena SI kurang
memberikan porsi yang cukup untuk membahas Islam secara ilmiah, pembahasan
masalah sosial, dan kehidupan sehari-hari secara ilmiah. Sedangkan orang-orang
komunis menyentuh bidang akal. Akhirnya hancurlah SI. Tadinya SI adalah sebuah
partai politik terbesar di Indonesia/Hindia Belanda kemudian pecah menjadi dua.
SI Putih tetap bergaris dan berhaluan Islam, sedangkan SI Merah bergaris dan
berhaluan komunis yang nantinya berubah menjadi PKI.
Saingan SI yang berhasil adalah Muhammadiyah. Sebenarnya kurang
tepat juga bila disebut saingan karena kedua organisasi ini ‘fastabiqul
khairat’ (berlomba-lomba berbuat kebaikan), apalagi mereka
menghadapi musuh yang sama yaitu penjajah Belanda. Tetapi penulis tetap memakai
istilah ini karena berdasarkan pada istilah yang dipakai para ahli sejarah
Indonesia, baik sejarawan Indonesia maupun sejarawan asing (Indonesianis).
Muhammadiyah didirikan di tahun yang sama, 1912. Muhammadiyah aktif khususnya
dalam bidang pendidikan dan sosial dakwah bilhal serta dakwah bil lisan.
Tahun 1925 berdirilah Jong Islamieten Bond (JIB). Anggotanya kebanyakan
adalah golongan elit yang berpendidikan Barat yang masih ingin memegang teguh
keislaman. JIB di kemudian hari banyak menghasilkan pemimpin-pemimpin Indonesia
Merdeka, semisal M. Natsir, Moh. Roem, Yusuf Wibisono, Harsono
Tjokroaminoto, Sjamsuridjal, dan lain sebagainya. Dengan demikian
sampai tahun 1930 pergerakan nasional Indonesia praktis didominasi (kalau tidak
mau disebut dimonopoli) aktivis-aktivis Islam. Perjuangan tahun 1930-an sampai
1940-an terdiri dari pergerakan Islam dan golongan nasionalis sekuler atau
“kalangan kebangsaan yang netral agama”, istilahnya Deliar Noer.
Orang-orang nasionalis berkata bahwa o-rang-orang nasrani pun turut berjuang
dalam usaha mengusir penjajah. Mereka mengambil contoh Pattimura atau Thomas
Mattulessy. Padahal tulisan tentang Thomas Mattulessy hanyalah omong kosong
dan isapan jempol dari seorang yang bernama M. Sapija (Agung Pribadi,
Pattimura itu Muslim Taat, 2003 atau Drs. M. Nour Tawainella, “Menjernihkan
Sejarah Pahlawan Pattimura” dalam Panji Masyarakat 11 Mei 1984). Tokoh Thomas
Mattulessy tak pernah ada. Yang ada adalah Kapiten Ahmad Lussy atau Mat-Lussy,
seorang Muslim yang memimpin perjuangan rakyat Maluku melawan penjajah Belanda.
Menurut Fakta sejarah, bahkan Sisingamangaraja XII pun seorang muslim.
Tetapi Nugroho Notosusanto cs berkata bahwa Sisingamangaraja XII adalah
penganut agama Sinkretis antara agama Kristen, Islam dan agama Batak.
Jendral Sudirman yang seorang guru Muhammadiyah pun adalah seorang Islam yang
taat. Sudirman berjuang mengusir Belanda tidak atas dasar nasionalisme sekuler.
Dia berjuang sebagai seorang Muslim yang membela negaranya. Tulisan tentang
beliau kebanyakan ditulis oleh orang-orang nasionalis sekuler seperti Nugroho
Notosusanto yang kini terbukti telah memalsukan
Sejarah PKI. Ia juga kedapatan
memalsukan sejarah Jong Islamieten Bond pada buku Sejarah Nasional Indonesia
jilid V halaman 195-196.
R.A. Kartini pun bukanlah seorang yang memperjuangkan emansipasi wanita
an sich. Ia seorang pejuang Islam. R.A. Kartini sedang dalam perjalanan menuju
Islam yang kaaffah, ketika ia mencetuskan ide-idenya. R.A. Kartini sedang
beralih dari kegelapan (jahiliyah) kepada cahaya terang (Islam) atau minazh
zhulumati ilan nuur (Habis Gelap Terbitlah Terang), tetapi ia wafat
sebelum sempat membaca terjemahan al-Qur’an selain juz 1 sampai juz 10.
Akibatnya pengaruh teman-temannya yang mayoritas Nasrani dan Feminis Liberal,
bahkan ada yang Yahudi, masih terlihat jelas.
Fakta Peranan Pemuda Islam
Ada fakta menarik yang dipublikasikan oleh Ahmad Mansyur Suryanegara tentang
peranan pemuda. Selama ini tokoh-tokoh seperti Endang Saefuddin Anshari, Harry
J Benda, John Igleson Clifford Geertz, dalam karyanya menggolongkan tokoh agama
yang karena menyandang gelar “Haji” atau “Kiai” menyangka bahwa mereka sudah
tua. Padahal mereka adalah para pemuda. Misalnya HOS Tjokroaminoto pada waktu
ia memimpin SI usianya masih muda. Pada tahun 1912 ia baru berusia 30 tahun.
Melihat ke masa sekarang pengertian pemuda berdasarkan keputusan Menteri P dan
K RI No. 0323/V/1978, pemuda adalah orang di luar sekolah maupun perguruan
tinggi dengan usia antara 15-30 tahun. Kiai Haji Mas Mansur yang pada
usia 12 tahun sudah menunaikan ibadah haji, sudah masuk gerakan mencintai tanah
air. Kemudian mendirikan Nahdhatul Wathan yang berarti “Kebangkitan Negeri atau
Negara” pada tahun 1916 saat usianya baru 20 tahun. Ia lalu pindah ke
Muhammadiyah dan aktif di sana pada umur 26 tahun.
Demikian pula halnya dengan organisasi pemudi, rata-rata anggota dan
pemimpinnya di bawah 30 tahun. Tetapi selama ini para ahli menggolongkannya
sebagai gerakan wanita. Apalagi dengan peringatan Hari Ibu tanggal 22 Desember,
maka orang mengira bahwa yang bergerak adalah ibu-ibu yang berusia cukup tua.
Pemuda Islam Indonesia Zaman Jepang
Pada awal pendudukan Jepang semua organisasi dilarang, kecuali MIAI (Majelis
Islam A’la Indonesia) yang nantinya menjadi Masyumi (Majelis
Syuro Muslimin Indonesia). Organisasi semi militer dari Masyumi adalah Hizbullah
dan Sabilillah yang juga diperbolehkan eksis. Di sana adalah ajang
pelatihan semi militer dari pemuda-pemuda. Lambang organisasi militer PETA
adalah simbol Islam, yaitu bulan sabit. Yang menjadi komandan-komandan
PETA dipilih orang yang berpengaruh. Selain guru sekolah, banyak sekali guru
pesantren yang menjadi komandan PETA dengan pangkat perwira menengah. Menurut
seorang ahli dari Belanda, BJ Boland, ini adalah salah satu hikmah pendudukan
Jepang bagi umat Islam Indonesia, yaitu islamisasi di kalangan tentara Indonesia.
Tetapi di akhir pendudukannya, Jepang lebih mendekati golongan nasionalis
sekuler melalui Jawa Hokokai (Kebaktian Jawa) dan gerakan 3A.
Pemuda Islam Pasca Proklamasi
Pada masa Revolusi mayoritas orang Islam berjuang dengan takbir “Allahu Akbar”.
HMI pun berdiri di tengah-tengah revolusi tahun 1947. Pada Masa Demokrasi
Liberal, Organisasi Kemasyarakatan Pemuda (OKP) menjadi organisasi Onderbouw
atau bawahan dari partai-partai yang ada. Dengan kata lain pemuda terlibat
dalam “Politik Aliran”. HMI walaupun independen dan bukan merupakan Onderbouw
Masyumi seperti yang dikira banyak orang, akan tetapi tokoh-tokoh HMI sangat
dekat dengan tokoh-tokoh Masyumi karena adanya persamaan ideologi keagamaan
(modernisme Islam) dan kepentingan, yaitu anti PKI.
Pemuda dan Mahasiswa Islam 1965-1985
Pemuda Islam terutama PII (Pelajar Islam Indonesia) dan HMI (Himpunan Mahasiswa
Islam) berperan sangat besar dalam Orde Baru. Biasanya apabila ada suatu
perubahan sosial baik yang radikal (revolusi) atau evolusi, peran pemuda Islam
terutama mahasiswa Islam cukup menonjol. Misalnya dalam revolusi di Iran dengan
Bani Sadr, Khomeini, dan Ali Syariatinya, di Afghanistan dengan Ghulam Muhammad
Niyazi beserta murid-muridnya para ketua aliansi tujuh partai terbesar di
Afghanistan semisal Gulbudin Hikmatyar, Abdur Rabir Rasul Sayyaf, Burhanudin
Rabbani, dan lain-lain. Juga revolusi di Aljazair dengan Abbas Madani beserta
FIS-nya. Evolusi di Malaysia dengan Anwar Ibrahim yang dulunya merupakan
aktivis demonstrasi mengkritik pemerintah Malaysia (dia berasal dari ABIM,
Angkatan Belia Islam Malaysia), dan masih banyak contoh-contoh lainnya.
Di Indonesia memang peran pemuda Islam selalu menonjol, misalnya Jong
Islamieten Bond (JIB) dalam pergerakan nasional yang mana cabang-cabangnya
tersebar di seluruh Indonesia. Pemuda Masyumi pada masa Demokrasi Liberal juga
sangat berperan. Untuk periode 1960-an sampai 1970-an yang menonjol adalah PII,
HMI, PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, organisasi di bawah naungan
NU). Akan tetapi dalam periode 1965-1985 peranan pemuda Islam agak tersamarkan
karena semua organisasi pemuda Islam, para anggotanya melepas “jaket” dan
melebur dalam organisasi yang bersifat nasionalis. PII masuk dalam KAPPI. HMI
dan PMII dalam KAMI dan banyak lagi. Organisasi-organisasi seperti di atas
terlibat dalam bentrokan-bentrokan fisik di lapangan (di daerah) dan mengalami
benturan sangat keras. Benturan antara kubu “hijau” dengan kubu “merah”. Dalam
mengkritik Rezim Soekarno, PII dan HMI sangatlah vokal dan ini menjadi ciri
mereka yang utama. Tetapi entah mengapa sejak HMI mengakui Pancasila sebagai
asasnya, ciri vokal itu hilang. Atau PII yang tetap vokal dan tidak mengakui
Asas Tunggal Pancasila menyebabkan organisasi itu secara atas tanah dikatakan
bubar tetapi di bawah tanah PII itu tetap eksis, namun menjadi PII-Ilegal.
Tahun 1973 pelajar-pelajar Islam yang tergabung dalam PII menguasai gedung
DPR-RI pada saat berlangsung sidang membahas RUU Perkawinan.
Pada tanggal 20 Maret 1978 terjadi Demonstrasi menentang P4 dan aliran
kepercayaan masuk GBHN oleh Gerakan Pemuda Islam (GPI) yang dimotori Abdul
Qadir Djailani. Demikian pula delegasi PII, HMI, GP Anshor, IMM, IPNU, dan PMII
intensif berdialog di gedung MPR-RI dengan para anggota MPR sejak tahun 1977
sampai tahun 1978 menentang masuknya aliran kepercayaan dalm GBHN 1978. Last
but not least, HMI, IMM, PMII, dan pendatang baru KAMMI (Kesatuan Aksi
Mahasiswa Muslim Indonesia) sangatlah berperan dalam aksi-aksi reformasi
menumbangkan Soeharto. Ternyata dalam rentang waktu yang panjang ini pemuda
Islam sangat berperan dalam menentukan jalannya negeri ini.
Lalu, apakah kita hanya akan merenungi kejayaan masa lampau ataukah akan
menentukan buat masa depan? Itu semua tergantung kepada kita sendiri! Wallahu
A’lam..
No comments:
Post a Comment